Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan Hindu yang pernah berdiri di wilayah Jawa Timur pada abad ke-11 hingga ke-13. Ia dikenal sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno (Medang) yang terpecah setelah peristiwa perebutan kekuasaan oleh Raja Airlangga. Sebagai kerajaan agraris dan maritim, Kediri memainkan peran penting dalam jalur perdagangan, pengembangan sastra Jawa Kuno, serta perkembangan budaya dan agama Hindu di Nusantara. Jejak kejayaannya dapat dikenali melalui peninggalan prasasti, karya sastra, serta pengaruh budayanya yang masih terasa hingga kini.
Kediri lahir dari perpecahan Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga. Menjelang akhir pemerintahannya, Airlangga membagi wilayah kekuasaannya menjadi dua untuk menghindari perebutan takhta di antara kedua putranya. Dua kerajaan itu adalah Panjalu (Kediri) dan Jenggala. Panjalu berkedudukan di Daha (yang kini terletak di sekitar Kediri, Jawa Timur), sementara Jenggala berkedudukan di sekitar Kahuripan (dekat Sidoarjo saat ini).
Sebagai contoh, dalam Prasasti Pamwatan (1042 M), disebutkan bahwa Airlangga membagi kerajaannya dan kemudian turun tahta untuk menjadi pertapa. Dari dua kerajaan yang terbentuk, Panjalu—yang kemudian lebih dikenal sebagai Kediri—berhasil berkembang lebih kuat dan dominan dalam sejarah selanjutnya.
Runtuhnya Kerajaan Kediri disebabkan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Konflik internal dalam pemerintahan, tekanan dari luar, serta pergeseran kekuasaan menjadi alasan utama mengapa kerajaan ini akhirnya runtuh. Artikel ini akan menjelaskan secara rinci faktor-faktor tersebut, disertai dengan penjelasan ilustratif untuk membantu memahami bagaimana setiap faktor berkontribusi terhadap kejatuhan Kerajaan Kediri.
Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kediri
1. Konflik Internal dalam Pemerintahan
Salah satu penyebab utama runtuhnya Kerajaan Kediri adalah konflik internal di dalam pemerintahan. Perselisihan antara para bangsawan dan perebutan kekuasaan sering kali melemahkan stabilitas politik kerajaan.
Penjelasan Ilustratif
Misalnya, pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, terjadi ketegangan antara raja dan kelompok brahmana. Raja Kertajaya dikenal karena kebijakan-kebijakan otoriternya yang mengurangi pengaruh brahmana di pemerintahan. Hal ini memicu perpecahan, di mana brahmana mulai kehilangan dukungan terhadap raja. Ketika Kertajaya semakin mendesak brahmana untuk tunduk, para brahmana mencari perlindungan ke Tumapel, yang dipimpin oleh Ken Arok.
Ketidakstabilan internal ini melemahkan posisi Kerajaan Kediri dan membuka jalan bagi pihak luar untuk menantang kekuasaan kerajaan.
2. Tekanan dari Tumapel
Faktor eksternal yang signifikan dalam kejatuhan Kerajaan Kediri adalah tekanan dari Tumapel (cikal bakal Kerajaan Singhasari). Di bawah kepemimpinan Ken Arok, Tumapel berkembang menjadi kekuatan yang cukup besar dan mulai mengancam dominasi Kediri di Jawa Timur.
Penjelasan Ilustratif
Pada tahun 1222, Ken Arok memimpin pasukan Tumapel melawan Kediri dalam pertempuran besar di Ganter. Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya, yang dianggap sebagai simbol akhir dari kekuasaan Kediri. Kekalahan ini menandai transisi kekuasaan dari Kediri ke Tumapel dan awal dari dominasi Kerajaan Singhasari di wilayah Jawa Timur.
3. Kebijakan Otoriter Raja
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Raja Kertajaya menjadi salah satu pemicu keruntuhan Kediri. Kepemimpinannya yang otoriter tidak hanya menciptakan konflik dengan brahmana tetapi juga dengan kelompok-kelompok lain di dalam kerajaan.
Penjelasan Ilustratif
Sebagai contoh, kebijakan Kertajaya yang memaksa para brahmana untuk menyembah raja sebagai dewa memperburuk hubungan antara penguasa dan kelompok agama. Brahmana yang selama ini menjadi pendukung penting kerajaan merasa dihina dan kehilangan tempat dalam struktur politik Kediri. Keputusan tersebut menciptakan jurang antara penguasa dan rakyat, melemahkan kohesi internal kerajaan.
4. Ketergantungan pada Perdagangan
Kediri sangat bergantung pada perdagangan sebagai sumber utama kekayaannya. Namun, ketergantungan ini juga menjadi titik lemah yang membuat kerajaan rentan terhadap perubahan dalam pola perdagangan regional.
Penjelasan Ilustratif
Ketika jalur perdagangan maritim mulai bergeser ke utara, akibat meningkatnya dominasi kerajaan-kerajaan pesisir seperti Singhasari dan Majapahit, Kediri kehilangan pengaruh ekonominya. Pelabuhan-pelabuhan yang dulunya dikuasai Kediri menjadi kurang strategis, sehingga mengurangi pendapatan kerajaan dari perdagangan internasional.
5. Pergeseran Kekuasaan dan Dinasti
Runtuhnya Kediri juga terkait dengan pergeseran kekuasaan politik di wilayah Jawa. Pergeseran ini ditandai oleh munculnya dinasti-dinasti baru yang lebih kuat, seperti Singhasari dan kemudian Majapahit, yang mengambil alih peran Kediri sebagai pusat kekuasaan di Jawa Timur.
Penjelasan Ilustratif
Ken Arok, pendiri Dinasti Singhasari, memanfaatkan ketidakstabilan politik di Kediri untuk merebut kekuasaan. Dengan dukungan militer yang kuat dan aliansi dengan brahmana, ia berhasil menggulingkan Kediri dan mendirikan kekuasaan baru di Tumapel. Pergeseran ini menjadi titik awal bagi munculnya kerajaan-kerajaan besar lain yang mendominasi Nusantara setelah era Kediri.
Masa Keemasan Kediri
Puncak kejayaan Kerajaan Kediri terjadi di bawah pemerintahan Raja Jayabaya (sekitar tahun 1135–1157 M). Jayabaya bukan hanya dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana, tetapi juga sebagai tokoh spiritual yang dihormati karena ramalan-ramalannya, terutama yang tertuang dalam Jangka Jayabaya. Ramalan ini diyakini masyarakat Jawa hingga sekarang, dan banyak dipercaya meramalkan kejadian-kejadian penting seperti penjajahan dan kemerdekaan Indonesia.
Di masa Jayabaya, Kediri mencapai kestabilan politik, kemakmuran ekonomi, dan kemajuan budaya. Pertanian berkembang pesat karena letaknya yang subur di lembah Sungai Brantas. Sungai ini juga menjadi jalur perdagangan penting, menghubungkan pedalaman Jawa Timur dengan pantai utara dan Samudra Hindia. Banyak pedagang dari luar seperti dari India, Cina, hingga wilayah Nusantara lainnya datang untuk berdagang.
Contoh ilustratif:
Bayangkan sebuah perahu besar memuat rempah-rempah, hasil pertanian, dan barang kerajinan dari wilayah Kediri. Perahu itu menyusuri Sungai Brantas, lalu bertemu dengan pedagang dari Gujarat atau Sriwijaya. Mereka menukar barang-barang seperti kain, logam, dan manik-manik. Transaksi semacam ini menggambarkan kemakmuran dan keterbukaan Kediri terhadap dunia luar.
Perkembangan Sastra dan Kebudayaan
Salah satu pencapaian terbesar Kediri adalah dalam bidang sastra Jawa Kuno. Banyak karya besar ditulis pada masa ini, terutama dalam bentuk kakawin (puisi berirama dalam bahasa Jawa Kuno). Sastra menjadi alat penting untuk menyebarkan nilai-nilai Hindu, moralitas, dan ajaran keagamaan.
Beberapa karya sastra terkenal dari era Kediri antara lain:
-
Kakawin Bharatayuddha, digubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh, menceritakan kisah Mahabharata dalam versi lokal.
-
Kakawin Hariwangsa, yang juga berasal dari kisah epik Hindu.
-
Gatotkacasraya, menggambarkan kepahlawanan tokoh Gatotkaca.
Contoh ilustratif:
Bayangkan seorang pujangga duduk di pendopo istana, menulis dengan alat tulis dari bambu dan tinta dari getah pohon. Di sekelilingnya, para pendengar menikmati lantunan syair yang menggambarkan pertempuran heroik antara Pandawa dan Kurawa. Karya itu tidak hanya menyenangkan, tetapi juga mengandung ajaran tentang dharma (kebenaran), kesetiaan, dan keberanian.
Karya-karya ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tapi juga sebagai alat pendidikan moral dan spiritual bagi masyarakat. Inilah yang membuat budaya Jawa sangat kaya dengan simbol, metafora, dan tradisi lisan yang kuat.
Struktur Pemerintahan dan Kehidupan Sosial
Sebagai kerajaan Hindu, struktur pemerintahan Kediri bersifat hierarkis. Raja berada di puncak sebagai titisan dewa, dibantu oleh para pejabat kerajaan seperti mahapatih, rakryan, dan para pejabat lainnya. Masyarakat terbagi dalam golongan kasta yang mengikuti sistem Hindu, meski dalam bentuk yang lebih fleksibel dibandingkan India.
Kehidupan sosial di Kediri cukup maju. Rakyat hidup dari pertanian, perdagangan, peternakan, serta kerajinan tangan. Toleransi keagamaan cukup tinggi. Meskipun Hindu menjadi agama resmi kerajaan, unsur-unsur kepercayaan lokal dan Budha juga hidup berdampingan.
Contoh ilustratif:
Seorang petani menanam padi di sawah yang diairi dari irigasi buatan yang terhubung ke Sungai Brantas. Di pasar, pedagang menjual beras, sayuran, dan barang kerajinan seperti gerabah dan kain batik awal. Di sisi lain, brahmana memimpin upacara di pura untuk menghormati dewa-dewa, sambil menyampaikan ajaran moral dan cerita kepahlawanan kepada anak-anak desa.
Warisan dan Pengaruh Kerajaan Kediri
Meskipun kerajaan ini runtuh, jejak budaya dan pengaruhnya tetap kuat. Banyak simbol, sastra, dan nilai-nilai moral dari masa Kediri diwariskan ke kerajaan-kerajaan setelahnya seperti Singhasari, Majapahit, hingga budaya Jawa modern. Prasasti-prasasti, reruntuhan candi, dan naskah-naskah sastra menjadi bukti bahwa Kediri pernah menjadi pusat peradaban yang maju.
Warisan Jayabaya dalam bentuk ramalan juga menjadi bagian kuat dari budaya Jawa, bahkan digunakan sebagai rujukan spiritual hingga era kemerdekaan Indonesia.
Kesimpulan
Keruntuhan Kerajaan Kediri tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari akumulasi berbagai faktor. Konflik internal, kebijakan otoriter, tekanan dari Tumapel, ketergantungan pada perdagangan, dan pergeseran kekuasaan politik semuanya berkontribusi pada kejatuhan kerajaan ini.
Meskipun Kerajaan Kediri runtuh, jejak kejayaannya tetap terlihat dalam berbagai aspek budaya dan sastra, seperti Kakawin Bharatayuddha yang menjadi salah satu peninggalan sastra penting dari era tersebut. Dengan memahami penyebab runtuhnya Kediri, kita dapat belajar tentang pentingnya stabilitas politik, kepemimpinan yang bijak, dan adaptasi terhadap perubahan untuk menjaga kelangsungan sebuah kekuasaan.