Egoisme: Melihat Diri Sendiri di Atas Segalanya

Egoisme, sebuah istilah yang sering kita dengar, mungkin dengan konotasi negatif. “Dasar egois!” adalah salah satu ungkapan yang sering terlontar saat seseorang dianggap hanya memikirkan diri sendiri tanpa peduli pada orang lain. Tapi apa sih sebenarnya egoisme itu? Apakah sesederhana itu, atau ada sisi lain dari egoisme yang jarang kita pahami? Yuk, kita coba bahas lebih mendalam tentang apa itu egoisme, mengapa orang bisa jadi egois, dan apakah egoisme selalu buruk atau sebenarnya ada manfaat tersembunyi di baliknya.

Keegoisan telah menjadi sifat yang terkutuk secara moral dalam berbagai agama dan kode etik.

Apa Itu Egoisme?

Secara sederhana, egoisme adalah sikap atau pandangan yang menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. Seorang yang egois cenderung memprioritaskan kebutuhan, keinginan, atau tujuannya sendiri tanpa terlalu peduli bagaimana hal tersebut mempengaruhi orang lain. Pada dasarnya, egoisme mendorong kita untuk “mementingkan diri sendiri”.

Tapi penting untuk diingat bahwa setiap orang punya kadar egoisme yang berbeda-beda, dan egoisme tidak selalu dalam bentuk yang ekstrem. Kita semua, pada titik tertentu, pasti pernah bersikap egois. Misalnya, saat kita memutuskan untuk menolak ajakan teman demi istirahat karena kita merasa sangat lelah. Atau ketika kita memutuskan untuk menyimpan sebagian makanan favorit kita di kulkas tanpa menawarkan kepada orang lain di rumah.

Jadi, meskipun terdengar buruk, egoisme sebenarnya bisa jadi sesuatu yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Tapi masalahnya, egoisme bisa berubah menjadi sesuatu yang negatif ketika dilakukan secara berlebihan dan mengabaikan kepentingan atau perasaan orang lain.

Jenis-Jenis Egoisme

Egoisme tidak datang dalam satu bentuk saja. Ada berbagai jenis egoisme yang bisa memengaruhi bagaimana seseorang bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa bentuk egoisme yang umum:

  1. Egoisme Pribadi Ini adalah jenis egoisme yang paling umum dan sering kita temui. Dalam egoisme pribadi, seseorang memprioritaskan kebahagiaan, kebutuhan, atau keinginannya sendiri di atas segalanya. Orang yang menganut sikap ini tidak terlalu peduli dengan dampaknya pada orang lain, asalkan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Misalnya, seseorang yang memilih untuk tidak membantu temannya belajar hanya karena ingin bersantai, meskipun ia tahu temannya sangat membutuhkan bantuan.
  2. Egoisme Etis Berbeda dengan egoisme pribadi yang lebih intuitif, egoisme etis adalah sebuah pandangan filosofis. Orang yang menganut egoisme etis percaya bahwa setiap orang seharusnya bertindak demi kepentingan mereka sendiri, karena ini adalah cara yang paling logis untuk hidup. Filosof terkenal seperti Ayn Rand adalah salah satu yang mendukung pandangan ini. Menurut teori egoisme etis, bukan hanya sah untuk bersikap egois, tetapi juga merupakan suatu keharusan untuk mencapai kehidupan yang maksimal.
  3. Egoisme Psikologis Teori ini lebih berkaitan dengan bagaimana manusia secara alami bersikap. Egoisme psikologis berpendapat bahwa semua tindakan manusia—baik atau buruk—pada akhirnya didorong oleh kepentingan diri sendiri. Menurut teori ini, meskipun seseorang tampak melakukan tindakan altruistik (seperti membantu orang lain tanpa mengharapkan balasan), pada akhirnya tindakan tersebut dilakukan untuk kepuasan diri atau untuk menghindari rasa bersalah. Jadi, pada intinya, semua orang adalah egois, walaupun mungkin tidak menyadarinya.

Mengapa Orang Menjadi Egois?

Tentu kita bertanya-tanya, apa sih yang membuat seseorang jadi egois? Apakah itu sesuatu yang tumbuh karena pengalaman hidup, atau mungkin ada faktor genetik yang terlibat? Jawabannya kompleks dan bervariasi. Beberapa faktor yang memengaruhi egoisme seseorang antara lain:

  1. Pengalaman Hidup Sering kali, pengalaman hidup seseorang bisa membentuk seberapa egois atau altruistik mereka. Misalnya, seseorang yang pernah mengalami pengkhianatan atau dikecewakan oleh orang lain mungkin jadi lebih egois karena ingin melindungi dirinya sendiri. Mereka mungkin berpikir, “Kalau aku tidak menjaga diriku sendiri, siapa lagi yang akan melakukannya?” Di sisi lain, orang yang tumbuh di lingkungan yang penuh kasih dan dukungan mungkin cenderung lebih peduli pada orang lain.
  2. Kebutuhan Emosional Terkadang, egoisme muncul sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan emosional. Misalnya, seseorang yang merasa tidak aman atau tidak dihargai mungkin berusaha mendapatkan perhatian lebih dengan cara mementingkan diri sendiri. Mereka mungkin merasa bahwa menjadi egois adalah satu-satunya cara untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi.
  3. Lingkungan Sosial Lingkungan di sekitar kita juga bisa membentuk sikap egois. Dalam masyarakat yang kompetitif dan individualistik, seperti di beberapa negara maju, orang lebih cenderung bersikap egois karena merasa mereka harus berjuang untuk diri sendiri agar berhasil. Sebaliknya, dalam budaya yang lebih komunal, di mana kerjasama dan gotong royong lebih dihargai, egoisme bisa dianggap sebagai sikap yang tidak pantas.
  4. Pengaruh Biologis Ada juga yang berpendapat bahwa egoisme adalah bagian dari insting dasar manusia. Sebagai makhluk yang bertahan hidup, kita secara alami didorong untuk memastikan kebutuhan kita sendiri terpenuhi. Insting untuk melindungi diri sendiri atau memastikan kelangsungan hidup bisa menjadi salah satu alasan mengapa egoisme muncul secara alami.

Dampak Negatif Egoisme

Walaupun egoisme kadang-kadang bisa menjadi hal yang wajar, sikap ini bisa membawa dampak negatif jika tidak diimbangi dengan empati dan kepedulian terhadap orang lain. Berikut adalah beberapa dampak buruk dari egoisme yang berlebihan:

  1. Hubungan yang Rusak Salah satu dampak paling jelas dari egoisme adalah rusaknya hubungan interpersonal. Ketika seseorang selalu memprioritaskan dirinya sendiri tanpa peduli pada perasaan atau kebutuhan orang lain, orang-orang di sekitar mereka mungkin merasa diabaikan atau tidak dihargai. Ini bisa merusak hubungan dengan teman, pasangan, atau keluarga, dan membuat seseorang terisolasi secara sosial.
  2. Kehilangan Dukungan Sosial Sikap egois bisa membuat orang enggan untuk membantu atau mendukung kamu di masa sulit. Ketika seseorang selalu mementingkan dirinya sendiri, orang lain mungkin merasa tidak ada keadilan atau timbal balik dalam hubungan tersebut, sehingga mereka enggan untuk berinvestasi dalam hubungan jangka panjang. Akibatnya, seseorang yang terlalu egois bisa kehilangan dukungan sosial yang sangat penting dalam kehidupan.
  3. Lingkungan Kerja yang Toksik Dalam lingkungan kerja, egoisme bisa menyebabkan persaingan yang tidak sehat dan suasana kerja yang toksik. Jika setiap orang hanya peduli pada keberhasilan diri sendiri tanpa peduli pada kesuksesan tim, ini bisa menghambat produktivitas dan kolaborasi. Orang-orang yang egois cenderung tidak mau berbagi informasi, tidak mau bekerja sama, dan lebih fokus pada mencapai tujuan pribadi mereka.
  4. Rasa Tidak Bahagia Meskipun egoisme sering kali berkaitan dengan mencari kebahagiaan atau kepuasan diri, sikap ini justru bisa menghasilkan kebalikannya. Ketika seseorang terlalu fokus pada dirinya sendiri dan mengabaikan orang lain, mereka bisa merasa kesepian, terisolasi, dan bahkan merasa tidak puas secara emosional. Hubungan yang saling memberi adalah salah satu kunci kebahagiaan, dan tanpa itu, kebahagiaan sejati sulit dicapai.

Apakah Egoisme Selalu Buruk?

Setelah membahas banyak dampak negatif dari egoisme, mungkin kamu berpikir bahwa egoisme adalah sesuatu yang harus dihindari sama sekali. Tapi tunggu dulu! Sebenarnya, dalam dosis yang tepat, egoisme tidak selalu buruk. Kadang-kadang, kita perlu memprioritaskan diri sendiri untuk menjaga kesehatan mental, fisik, dan emosional kita.

  1. Self-Care Ada saat di mana kita perlu egois demi menjaga diri sendiri. Ini disebut dengan self-care—sikap di mana kita memprioritaskan kebutuhan dan kesejahteraan pribadi agar kita bisa berfungsi dengan baik. Misalnya, menolak ajakan keluar untuk istirahat setelah hari yang panjang, atau mengambil cuti dari pekerjaan untuk menjaga kesehatan mental. Ini adalah bentuk egoisme yang sehat, di mana kita menyadari bahwa menjaga diri sendiri penting agar kita bisa tetap produktif dan bahagia.
  2. Batasan yang Sehat Terkadang, egoisme diperlukan untuk menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan. Misalnya, mengatakan “tidak” ketika seseorang mencoba mengambil keuntungan dari kebaikan kita atau menetapkan batas waktu pribadi agar kita punya waktu untuk diri sendiri. Ini adalah cara untuk melindungi diri dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan sosial kita.
  3. Meningkatkan Ambisi dan Prestasi Dalam beberapa konteks, sikap egois yang terkontrol bisa mendorong ambisi dan prestasi. Misalnya, memprioritaskan tujuan pribadi dalam karier atau pendidikan bisa membantu seseorang mencapai kesuksesan. Asalkan tidak dilakukan dengan merugikan orang lain, sikap ini bisa mendorong pertumbuhan pribadi yang positif.

Kesimpulan

Egoisme adalah bagian dari sifat manusia yang kompleks. Dalam dosis kecil, egoisme bisa membantu kita menjaga kesejahteraan diri sendiri dan meraih tujuan hidup kita. Tapi ketika egoisme menjadi sikap yang dominan dalam cara kita berhubungan dengan orang lain, dampaknya bisa sangat merusak.

Kunci dari semuanya adalah keseimbangan. Kita perlu menemukan cara untuk merawat diri sendiri tanpa harus mengabaikan kebutuhan orang lain. Dengan begitu, kita bisa menjalani hidup yang sehat, bahagia, dan penuh dengan hubungan yang bermakna, tanpa terjebak dalam sikap egois yang merugikan.