Indonesia memiliki keragaman iklim yang luas, dan untuk memahami variasi ini secara lebih mendalam, para ahli klimatologi mengembangkan berbagai metode klasifikasi iklim. Salah satu metode yang sangat dikenal dan digunakan secara luas di Indonesia adalah klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, yang dikembangkan oleh dua ilmuwan Belanda, yaitu Schmidt dan Ferguson, pada tahun 1951.
Metode klasifikasi ini dirancang khusus untuk menganalisis iklim tropis, terutama iklim yang berkaitan dengan curah hujan. Berbeda dari klasifikasi Koppen yang lebih bersifat global, klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih aplikatif untuk wilayah-wilayah dengan iklim monsun tropis seperti Indonesia, yang ditandai oleh pola musim hujan dan kemarau yang teratur.
Sebagai contoh, petani di Pulau Jawa sering menggunakan pola iklim berdasarkan klasifikasi ini untuk menentukan masa tanam dan panen, karena sistem ini sangat memperhatikan jumlah bulan basah dan kering dalam setahun, yang sangat penting dalam pertanian tropis.
Konsep Dasar Klasifikasi Schmidt-Ferguson
Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson berdasarkan pada rasio bulan kering dan bulan basah dalam satu tahun. Di sini, yang menjadi indikator utama adalah jumlah curah hujan bulanan, bukan suhu.
- Bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang memiliki curah hujan ≥200 mm.
- Bulan lembap memiliki curah hujan antara 100–200 mm.
- Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan <100 mm.
Rasio yang digunakan adalah perbandingan antara jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah dalam satu tahun, yang kemudian dinyatakan dalam bentuk indeks Q. Nilai Q diperoleh dengan rumus berikut:
Q = (Jumlah bulan kering / Jumlah bulan basah) × 100
Nilai Q inilah yang menjadi dasar untuk menentukan tipe iklim suatu daerah.
Ilustrasi: Mengukur Rasio Bulan Basah dan Kering seperti Neraca Cuaca
Bayangkan kita menimbang dua keranjang: satu berisi bulan basah dan satu lagi berisi bulan kering. Semakin berat keranjang bulan kering, maka daerah tersebut cenderung lebih kering. Sistem ini seperti menyeimbangkan neraca iklim, dan hasilnya menjadi identitas iklim suatu wilayah.
Kategori Iklim Berdasarkan Nilai Q
Berdasarkan nilai Q yang diperoleh dari rumus di atas, Schmidt dan Ferguson membagi iklim ke dalam sembilan tipe utama yang diberi kode A sampai H, dengan tambahan tipe X untuk kondisi ekstrem. Setiap kategori merepresentasikan tingkat kelembapan hingga kekeringan suatu wilayah.
1. Tipe A (Sangat Basah) – Q < 14
Wilayah dengan tipe iklim ini memiliki jumlah bulan basah yang jauh lebih banyak daripada bulan kering, bahkan kadang hampir tanpa bulan kering.
Contoh ilustratif:
Daerah seperti Manokwari di Papua hampir tidak memiliki musim kemarau. Hujan turun hampir sepanjang tahun, sehingga cocok untuk tanaman tropis seperti kakao dan pala yang memerlukan kelembapan tinggi sepanjang tahun.
2. Tipe B (Basah) – Q antara 14–33
Tipe ini juga memiliki dominan bulan basah, tetapi mulai ada sedikit bulan kering.
Contoh ilustratif:
Wilayah seperti Pontianak di Kalimantan Barat masuk kategori ini, dengan musim hujan panjang dan musim kemarau yang pendek dan ringan. Tanaman seperti kelapa sawit tumbuh subur di sini karena tetap mendapat curah hujan meski saat kemarau.
3. Tipe C (Agak Basah) – Q antara 34–55
Pada tipe ini, jumlah bulan kering mulai mendekati jumlah bulan basah, namun masih lebih sedikit.
Contoh ilustratif:
Malang di Jawa Timur bisa dikategorikan sebagai tipe ini, karena memiliki musim hujan yang cukup panjang namun juga mengalami musim kemarau yang terasa, meski tidak terlalu kering.
4. Tipe D (Sedang) – Q antara 56–77
Daerah dengan tipe ini memiliki jumlah bulan kering dan basah yang hampir seimbang.
Contoh ilustratif:
Semarang mungkin berada di tipe ini, dengan musim hujan dan kemarau yang cukup seimbang, sehingga perencanaan pertanian memerlukan strategi rotasi tanaman dan irigasi untuk menghadapi musim kemarau.
5. Tipe E (Agak Kering) – Q antara 78–99
Tipe ini mulai menunjukkan dominasi bulan kering, namun bulan basah masih cukup signifikan.
Contoh ilustratif:
Kupang di Nusa Tenggara Timur memiliki iklim dengan curah hujan terbatas dan musim kemarau yang panjang, tapi masih ada periode hujan yang memungkinkan penanaman padi ladang atau jagung.
6. Tipe F (Kering) – Q antara 100–119
Jumlah bulan kering lebih dari dua kali jumlah bulan basah. Daerah ini sangat rentan terhadap kekeringan.
Contoh ilustratif:
Sumbawa Barat adalah contoh wilayah bertipe F. Di sini, musim hujan pendek sekali dan kemarau sangat panjang. Petani harus bergantung pada teknik penampungan air hujan atau irigasi sederhana untuk bertani.
7. Tipe G (Sangat Kering) – Q antara 120–139
Pada kategori ini, iklim benar-benar didominasi oleh kekeringan, hanya sedikit bulan basah.
Contoh ilustratif:
Pulau Rote di selatan NTT mengalami curah hujan sangat rendah. Tanaman yang bisa tumbuh adalah jenis yang tahan kering seperti singkong dan jambu mete.
8. Tipe H (Ekstrem Kering) – Q antara 140–169
Wilayah dengan tipe H sangat sulit untuk ditanami karena hampir sepanjang tahun adalah bulan kering.
Contoh ilustratif:
Beberapa wilayah pesisir Flores Timur bisa termasuk dalam tipe ini. Aktivitas pertanian sangat terbatas dan masyarakat lebih mengandalkan perikanan atau ternak.
9. Tipe X (Super Ekstrem) – Q ≥ 170
Tipe ini adalah kondisi iklim ekstrem, sangat jarang terjadi di Indonesia, dan hampir seluruh tahun merupakan bulan kering.
Contoh ilustratif:
Daerah seperti Gurun di Afrika Utara lebih mewakili tipe ini, meskipun dalam konteks Indonesia, mungkin hanya wilayah mikro tertentu yang sangat terisolasi secara geografis dan menerima sangat sedikit hujan sepanjang tahun.
Penerapan dan Manfaat Klasifikasi Schmidt-Ferguson
Metode Schmidt-Ferguson digunakan secara luas oleh BMKG, lembaga penelitian agrikultur, dan pemerintah daerah untuk perencanaan:
- Tanaman pertanian sesuai musim dan curah hujan lokal
- Pengembangan kawasan rawan kekeringan
- Perencanaan pengairan dan irigasi
- Mitigasi dampak perubahan iklim lokal
Contoh ilustratif:
Di daerah seperti Bojonegoro, pemerintah menggunakan data iklim Schmidt-Ferguson untuk menyesuaikan program bantuan benih tahan kering, serta menentukan kapan bendungan dibuka untuk pengairan sawah selama musim kemarau panjang.
Kesimpulan
Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson adalah metode praktis dan relevan untuk menggambarkan pola iklim di daerah tropis, terutama Indonesia. Dengan fokus pada rasio bulan kering dan bulan basah, sistem ini memberikan wawasan yang sangat berguna untuk sektor pertanian, kehutanan, dan pengelolaan sumber daya air.
Pemahaman akan tipe-tipe iklim dari A sampai X membantu masyarakat dan pemerintah mengelola risiko iklim dan menentukan strategi adaptasi, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin nyata. Dalam konteks lokal, klasifikasi ini menjadi panduan penting bagi keberlanjutan sistem pangan dan kehidupan masyarakat di wilayah tropis.