Sejarah adalah kajian mengenai masa lalu manusia yang melibatkan fakta-fakta, interpretasi, dan narasi. Sebagai disiplin ilmu, sejarah sering dianggap sebagai usaha untuk merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan bukti yang tersedia. Namun, cara kita memahami sejarah tidaklah bebas dari pengaruh perspektif individu atau masyarakat yang mengkajinya. Oleh karena itu, sejarah memiliki sifat ganda: subjektif dan objektif. Keduanya saling berkaitan dan memengaruhi cara kita memahami perjalanan manusia di berbagai konteks waktu dan tempat. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam sifat subjektif dan objektif dalam sejarah, mengapa keduanya penting, serta bagaimana keduanya memengaruhi penulisan sejarah.
Apa Itu Sejarah?
Sejarah, dalam pengertian dasar, adalah kajian tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, yang diteliti dan ditafsirkan melalui bukti-bukti seperti dokumen, artefak, dan tradisi lisan. Kata “sejarah” berasal dari bahasa Yunani historia, yang berarti “penyelidikan” atau “pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian.”
Namun, sejarah tidak hanya sekadar catatan fakta atau kronologi peristiwa. Ia juga melibatkan interpretasi yang mencakup bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi. Proses interpretasi inilah yang menyebabkan adanya dimensi subjektif dalam sejarah, sementara fakta-fakta sejarah yang berasal dari bukti empiris mencerminkan sifat objektifnya.
Sifat Subjektif dan Objektif dalam Sejarah
1. Sifat Objektif Sejarah
Objektivitas dalam sejarah merujuk pada pencatatan fakta yang dapat diverifikasi dan didukung oleh bukti konkret. Dalam aspek ini, sejarah berfungsi sebagai ilmu yang berupaya mencatat peristiwa-peristiwa sebagaimana adanya, tanpa pengaruh interpretasi atau pandangan pribadi penulis sejarah.
Karakteristik Objektivitas dalam Sejarah:
- Berbasis Bukti: Sejarah objektif didasarkan pada dokumen, artefak, dan data empiris yang dapat diuji dan diverifikasi.
- Kebenaran Universal: Peristiwa yang dicatat secara objektif diharapkan berlaku universal dan tidak dipengaruhi oleh persepsi individu.
- Pendekatan Ilmiah: Penulisan sejarah yang objektif menggunakan metodologi ilmiah, seperti analisis sumber, kritik sumber, dan komparasi.
Contoh:
Penulisan tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dapat dianggap objektif ketika menyebutkan tanggal, tempat, dan peran tokoh-tokoh tertentu berdasarkan dokumen resmi, foto, atau saksi mata.
Kelebihan Objektivitas:
- Memberikan dasar yang kuat untuk memahami fakta-fakta sejarah.
- Membantu generasi mendatang mengakses catatan yang dapat dipercaya dan konsisten.
Kelemahan Objektivitas:
- Tidak selalu mencakup kompleksitas emosional atau sosial dari peristiwa sejarah.
- Berisiko menjadi “kering” jika hanya berfokus pada fakta tanpa konteks atau narasi yang memperkaya.
2. Sifat Subjektif Sejarah
Subjektivitas dalam sejarah merujuk pada interpretasi, sudut pandang, atau penilaian yang dilakukan oleh sejarawan dalam menceritakan atau menjelaskan suatu peristiwa. Dalam proses menafsirkan data sejarah, penulis sejarah tidak dapat sepenuhnya menghindari bias, baik yang disengaja maupun tidak.
Karakteristik Subjektivitas dalam Sejarah:
- Interpretasi Pribadi: Perspektif penulis sejarah sering dipengaruhi oleh latar belakang, ideologi, atau nilai-nilai yang dipegangnya.
- Narasi yang Dipengaruhi Konteks: Penulisan sejarah sering kali mencerminkan situasi politik, sosial, atau budaya di masa penulisannya.
- Penekanan pada Aspek Tertentu: Sejarawan mungkin memilih aspek tertentu untuk diberi perhatian lebih, sementara aspek lain diabaikan.
Contoh:
Interpretasi peran Soekarno dan Hatta dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat berbeda-beda tergantung pada perspektif penulis. Seorang sejarawan mungkin menyoroti kepemimpinan Soekarno, sementara yang lain menekankan pengaruh kelompok pemuda.
Kelebihan Subjektivitas:
- Memberikan kedalaman narasi yang menggambarkan sisi manusiawi dari sejarah.
- Membantu menjelaskan latar belakang, motivasi, dan dampak emosional dari suatu peristiwa.
Kelemahan Subjektivitas:
- Rentan terhadap bias yang dapat mengaburkan fakta.
- Berpotensi menciptakan sejarah yang tidak seimbang atau sepihak.
Mengapa Sejarah Selalu Memiliki Dimensi Subjektif?
Tidak peduli seberapa kuat keinginan untuk tetap objektif, subjektivitas hampir selalu hadir dalam sejarah karena beberapa alasan berikut:
1. Pilihan dalam Mengumpulkan Data
Sejarawan harus memilih sumber mana yang akan digunakan. Proses seleksi ini, meskipun berdasarkan kriteria ilmiah, tetap dipengaruhi oleh perspektif dan latar belakang pribadi.
2. Interpretasi Fakta
Fakta sejarah tidak berbicara sendiri. Mereka membutuhkan interpretasi untuk dijadikan narasi yang bermakna. Misalnya, pertempuran yang sama dapat dilihat sebagai “kemenangan besar” atau “tragedi manusia” tergantung pada sudut pandangnya.
3. Pengaruh Ideologi dan Budaya
Penulisan sejarah sering kali dipengaruhi oleh ideologi atau budaya penulis. Dalam sejarah kolonial, misalnya, sudut pandang penjajah dan yang dijajah sering kali sangat berbeda.
4. Peran Emosi
Sejarawan, sebagai manusia, memiliki keterlibatan emosional dalam menulis sejarah. Ini memengaruhi bagaimana mereka memandang aktor-aktor sejarah atau peristiwa tertentu.
Hubungan antara Sifat Subjektif dan Objektif dalam Sejarah
Subjektivitas dan objektivitas bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Keduanya diperlukan untuk memberikan gambaran sejarah yang kaya dan bermakna. Berikut adalah hubungan antara kedua sifat tersebut:
- Fakta Objektif sebagai Dasar: Penulisan sejarah harus dimulai dengan pengumpulan fakta yang objektif untuk memastikan keakuratan.
- Interpretasi Subjektif untuk Makna: Setelah fakta terkumpul, interpretasi subjektif memberikan konteks dan makna yang lebih luas.
- Perpaduan untuk Narasi Seimbang: Penulisan sejarah yang baik menggabungkan objektivitas dalam penyajian fakta dengan subjektivitas yang memperkaya narasi.
Contoh Penulisan Sejarah yang Menggabungkan Subjektivitas dan Objektivitas
Perang Dunia II
Fakta objektif: Perang Dunia II berlangsung dari tahun 1939 hingga 1945, melibatkan negara-negara seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Soviet.
Interpretasi subjektif: Perspektif tentang perang ini berbeda di setiap negara. Di Amerika Serikat, Perang Dunia II dipandang sebagai perjuangan heroik untuk kebebasan. Di Jerman, narasi sejarah sering berfokus pada dampak destruktifnya terhadap masyarakat dan masa depan bangsa.
Sejarah Indonesia
Fakta objektif: Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Interpretasi subjektif: Narasi kemerdekaan dapat berbeda tergantung pada perspektif penulis, misalnya, apakah lebih menonjolkan peran tokoh seperti Soekarno dan Hatta atau peran perjuangan rakyat dan pemuda.
Kesimpulan
Sejarah adalah perpaduan antara fakta objektif dan interpretasi subjektif. Objektivitas memberikan dasar ilmiah untuk memastikan keakuratan peristiwa, sedangkan subjektivitas memberikan konteks, makna, dan narasi yang lebih dalam. Dalam memahami sejarah, penting bagi kita untuk menyadari adanya dua sifat ini agar dapat mendekati kajian sejarah dengan kritis dan seimbang. Sejarah yang baik bukanlah sejarah yang sepenuhnya bebas dari subjektivitas, melainkan sejarah yang mampu menggabungkan keduanya secara harmonis untuk menyajikan gambaran yang kaya dan bermakna tentang masa lalu.