Dalam Islam, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang menjadi pedoman utama bagi seluruh umat manusia. Namun, untuk memahami, menjalankan, dan menafsirkan Al-Qur’an secara utuh, kita tidak bisa lepas dari hadits—sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Hubungan antara Al-Qur’an dan hadits bukanlah hubungan antara dua teks terpisah, melainkan hubungan simbiotik yang saling menguatkan.
Hadits berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur’an. Ia memberikan rincian terhadap ayat-ayat yang bersifat global, menafsirkan makna yang kadang tidak disebut secara eksplisit, serta memberi contoh nyata pelaksanaan ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an. Berikut ini akan dijelaskan beberapa fungsi utama hadits terhadap Al-Qur’an, lengkap dengan ilustrasi agar mudah dipahami dan membumi dalam realitas kehidupan umat Islam.
Menjelaskan Ayat-Ayat yang Global atau Umum
Banyak ayat dalam Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk global atau umum. Ini disengaja agar ayat tersebut berlaku fleksibel dalam berbagai zaman dan kondisi. Namun, pemahaman atas ayat-ayat itu membutuhkan penjelasan lebih lanjut agar bisa diterapkan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah peran hadits sebagai penjelas (bayan tafsir) sangat penting.
Contoh Ilustratif:
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Dan dirikanlah shalat…” (QS. Al-Baqarah: 43)
Namun, tidak dijelaskan secara rinci bagaimana tata cara shalat tersebut. Berapa rakaat? Apa yang dibaca dalam setiap gerakan? Kapan shalat dilakukan?
Jawaban-jawaban ini datang dari hadits Nabi SAW. Misalnya, Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Dari hadits ini, para sahabat menyaksikan dan meriwayatkan dengan rinci cara Nabi shalat—dari takbir, ruku’, sujud, hingga salam—sehingga menjadi standar yang berlaku hingga hari ini.
Menetapkan Hukum yang Tidak Disebutkan Secara Eksplisit dalam Al-Qur’an
Tidak semua aspek kehidupan diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Beberapa hukum ditetapkan langsung oleh Nabi melalui haditsnya. Ini disebut sebagai bayan tasyri’, yaitu fungsi hadits dalam menetapkan hukum tambahan yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun tidak bertentangan dengannya.
Contoh Ilustratif:
Dalam Al-Qur’an tidak ada larangan eksplisit mengenai memakan daging keledai jinak. Namun dalam hadits, Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai jinak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Larangan ini kemudian menjadi bagian dari hukum Islam karena datang dari Nabi yang juga berfungsi sebagai pembuat syariat. Ini menunjukkan bagaimana hadits melengkapi kekosongan hukum dalam Al-Qur’an.
Mengkhususkan Ayat yang Umum
Fungsi lain hadits adalah sebagai pengkhusus (bayan takhshish), yaitu memperjelas batasan ayat-ayat yang tampak berlaku umum dalam Al-Qur’an. Terkadang Al-Qur’an menyebut hukum yang berlaku luas, tapi kemudian hadits memberikan pengecualian atau batasan tertentu untuk konteks tertentu.
Contoh Ilustratif:
Al-Qur’an menyatakan:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…” (QS. An-Nur: 2)
Namun, hadits Nabi mengkhususkan bahwa hukuman ini berlaku untuk yang belum menikah. Adapun yang sudah menikah, jika terbukti berzina, maka hukumannya adalah rajam (dilempari batu sampai mati), sebagaimana dalam sabda Nabi:
“Ambillah dariku, ambillah dariku. Allah telah memberikan jalan bagi mereka: yang sudah menikah (muhshan), hukumannya adalah rajam.” (HR. Muslim)
Dengan ini, kita melihat bahwa hadits tidak membatalkan ayat Al-Qur’an, tapi memperjelas siapa yang dimaksud dalam hukum tersebut.
Menjelaskan Makna Lafal yang Musytarak atau Ambigu
Terkadang Al-Qur’an menggunakan kata atau lafal yang punya makna ganda (musytarak). Tanpa penjelasan dari Nabi, kata tersebut bisa ditafsirkan secara keliru. Hadits hadir untuk meluruskan makna dan menetapkan tafsir yang benar.
Contoh Ilustratif:
Dalam ayat tentang zakat disebut:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…” (QS. At-Taubah: 103)
Namun, tidak dijelaskan secara rinci harta apa saja yang wajib dizakati dan berapa nisabnya. Dari hadits Nabi, kita belajar bahwa zakat itu tidak hanya dari emas dan perak, tetapi juga dari hasil pertanian, hewan ternak, dan perdagangan—dengan ketentuan-ketentuan khusus. Nabi menjelaskan secara rinci lewat sabda dan praktiknya, sehingga kita tahu batasan dan kewajiban setiap jenis zakat.
Menjadi Contoh Praktis dalam Pengamalan Al-Qur’an
Salah satu fungsi paling fundamental hadits adalah sebagai teladan nyata dalam menjalankan ajaran Al-Qur’an. Nabi adalah manusia yang mengimplementasikan Al-Qur’an secara sempurna, sebagaimana digambarkan oleh Aisyah RA:
“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Contoh Ilustratif:
Al-Qur’an memerintahkan untuk bersikap lemah lembut, memaafkan, dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Namun, bagaimana caranya?
Kita melihatnya dalam kehidupan Nabi. Ketika Nabi dilempari batu di Thaif, malaikat menawarkan untuk menghancurkan kota itu. Namun beliau menolak dan berkata, “Mungkin kelak dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang beriman.” Ini bukan hanya contoh hadits, tapi cerminan nyata dari ayat-ayat kasih sayang dalam Al-Qur’an.
Kesimpulan
Hubungan antara Al-Qur’an dan hadits ibarat tubuh dan ruh. Al-Qur’an adalah teks ilahi yang sakral dan absolut, sementara hadits adalah panduan hidup yang bersumber dari manusia pilihan Allah, yakni Rasulullah SAW. Hadits memberi penjelasan, rincian, batasan, serta aplikasi nyata atas ajaran Al-Qur’an. Tanpa hadits, umat akan sulit memahami dan menjalankan perintah Al-Qur’an secara utuh.
Melalui hadits, kita mendapatkan jawaban atas pertanyaan praktis dalam kehidupan beragama. Dan melalui pemahaman ini pula, umat Islam bisa tetap menjaga kemurnian syariat, walau zaman dan tantangan terus berubah. Maka, memahami fungsi hadits terhadap Al-Qur’an bukan hanya kewajiban ilmiah, tapi juga langkah spiritual untuk menghayati Islam secara menyeluruh.