Penyimpangan perilaku merupakan salah satu fenomena sosial yang kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat. Penyimpangan ini terjadi ketika seseorang atau kelompok melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku, baik itu secara hukum, adat, maupun etika umum.
Masyarakat pada umumnya mengharapkan warganya bertindak sesuai dengan aturan dan nilai yang disepakati. Namun, kenyataannya, tidak semua individu bisa atau mau mengikuti aturan tersebut. Penyimpangan bisa muncul dalam berbagai bentuk—dari pelanggaran kecil seperti membuang sampah sembarangan, hingga pelanggaran berat seperti kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, atau korupsi.
Untuk memahami mengapa seseorang bisa melakukan penyimpangan perilaku, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorongnya. Berikut adalah beberapa faktor pendorong utama terjadinya penyimpangan perilaku, disertai contoh ilustratif agar lebih mudah dipahami.
1. Faktor Keluarga
Keluarga adalah lingkungan pertama tempat individu belajar norma dan nilai sosial. Ketika keluarga gagal menjalankan fungsinya, misalnya karena kurangnya kasih sayang, pendidikan yang tidak seimbang, atau konflik berkepanjangan, anak bisa tumbuh tanpa pegangan moral yang kuat.
Ilustrasi sederhana:
Bayangkan seorang anak yang tumbuh di rumah di mana ayahnya sering melakukan kekerasan, ibunya tidak peduli, dan tidak ada komunikasi yang sehat. Anak ini mungkin belajar bahwa kekerasan adalah cara menyelesaikan masalah, dan ia membawa nilai itu ke dunia luar.
Contoh:
Remaja yang dibesarkan dalam keluarga broken home tanpa perhatian, bisa mencari pelarian dalam bentuk kenakalan remaja seperti tawuran atau konsumsi alkohol, karena merasa tidak memiliki tempat untuk mencurahkan perasaan.
2. Faktor Lingkungan Sosial
Lingkungan tempat seseorang tumbuh sangat berpengaruh terhadap perilaku. Lingkungan pergaulan yang negatif, seperti berteman dengan orang-orang yang terbiasa melakukan pelanggaran norma, bisa membentuk pola pikir dan kebiasaan yang menyimpang.
Ilustrasi sederhana:
Jika kamu berteman dengan lima orang yang suka bolos sekolah dan berbohong, lama-kelamaan kamu bisa merasa bahwa bolos dan berbohong itu adalah hal yang biasa. Norma lama tergeser oleh norma baru dari kelompok.
Contoh:
Seorang pelajar yang awalnya rajin belajar bisa terpengaruh untuk ikut geng jalanan karena ingin diterima di lingkungan sosial tersebut.
3. Faktor Ekonomi
Masalah ekonomi sering menjadi pemicu kuat terjadinya penyimpangan. Kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial dapat mendorong seseorang melakukan tindakan menyimpang sebagai upaya bertahan hidup atau memperoleh sesuatu secara instan.
Ilustrasi sederhana:
Bayangkan seorang kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan dan tidak punya tabungan. Tekanan untuk memberi makan anak-anak bisa membuatnya nekat mencuri demi bertahan hidup.
Contoh:
Seorang pemuda dari keluarga miskin yang tidak punya biaya kuliah memilih menjual narkoba untuk mendapatkan uang cepat, meskipun tahu itu berisiko tinggi.
4. Faktor Media dan Teknologi
Media massa dan media sosial dapat menjadi pengaruh besar terhadap cara berpikir dan bertindak seseorang. Tayangan yang mengandung kekerasan, gaya hidup konsumtif, atau perilaku menyimpang bisa ditiru oleh individu yang tidak memiliki filter yang kuat.
Ilustrasi sederhana:
Seorang remaja yang setiap hari menonton konten viral tentang hidup mewah bisa merasa rendah diri, lalu tergoda untuk ikut-ikutan gaya hidup tersebut meski caranya menyimpang—seperti menipu, menjual barang curian, atau bahkan membuat konten hoaks demi popularitas.
Contoh:
Remaja yang terobsesi dengan popularitas di media sosial bisa melakukan prank berbahaya atau menyebarkan informasi bohong untuk mendapat perhatian dan pengikut.
5. Faktor Pendidikan
Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk menanamkan nilai dan norma yang benar. Namun, ketika sistem pendidikan tidak berhasil membentuk karakter siswa, atau terjadi kesenjangan akses pendidikan, maka muncul peluang terjadinya penyimpangan.
Ilustrasi sederhana:
Bayangkan dua siswa di sekolah yang sama. Satu mendapat bimbingan dari guru yang peduli, satu lagi dibiarkan begitu saja karena dianggap “anak bermasalah”. Siswa yang tidak dibimbing bisa merasa tidak dihargai, lalu mencari pengakuan melalui tindakan yang menentang aturan.
Contoh:
Siswa yang merasa gagal secara akademis dan tidak mendapatkan motivasi di sekolah bisa merasa putus asa, lalu memilih bolos, terlibat tawuran, atau menjadi bagian dari geng yang bertentangan dengan hukum.
6. Faktor Kepribadian dan Psikologis
Setiap individu memiliki kepribadian dan kondisi mental yang unik. Gangguan kepribadian, stres berat, trauma masa kecil, atau dorongan impulsif bisa menyebabkan seseorang tidak mampu mengendalikan diri atau membedakan benar dan salah.
Ilustrasi sederhana:
Seorang anak yang sejak kecil mengalami perundungan bisa tumbuh menjadi pribadi pemarah atau penuh dendam. Jika tidak ditangani, ia bisa melampiaskan perasaannya dengan cara yang merugikan orang lain.
Contoh:
Orang yang mengalami trauma kekerasan bisa menjadi pelaku kekerasan juga, karena tidak pernah belajar cara menyalurkan emosinya secara sehat.
7. Faktor Budaya dan Nilai yang Bergeser
Nilai-nilai budaya yang berubah karena globalisasi atau modernisasi dapat membuat individu mengabaikan norma tradisional, dan menggantinya dengan nilai baru yang belum tentu sejalan dengan norma masyarakat.
Ilustrasi sederhana:
Di suatu daerah, dulu menghormati orang tua dan berpakaian sopan adalah hal yang dijunjung tinggi. Namun karena pengaruh budaya luar yang tidak difilter, nilai itu mulai tergeser, dan generasi muda justru mengejek nilai lama sebagai “kuno”.
Contoh:
Remaja yang terpengaruh budaya luar bisa lebih meniru cara hidup selebriti luar negeri, bahkan jika itu bertentangan dengan nilai lokal seperti menghormati orang tua atau menjaga sopan santun.
Kesimpulan
Penyimpangan perilaku tidak muncul begitu saja, tetapi dipicu oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Keluarga, lingkungan sosial, kondisi ekonomi, pendidikan, media, kepribadian, dan budaya semuanya berperan dalam membentuk perilaku seseorang.
Melalui contoh-contoh ilustratif, kita bisa melihat bahwa penyimpangan tidak selalu berarti seseorang jahat secara bawaan, melainkan bisa jadi karena mereka berada dalam situasi yang mendukung terjadinya pelanggaran norma. Oleh karena itu, pemahaman, pencegahan, dan pendekatan yang manusiawi sangat dibutuhkan dalam menangani kasus-kasus penyimpangan perilaku di masyarakat.