Klasifikasi Iklim Menurut Mohr

Klasifikasi iklim menurut Mohr adalah sistem klasifikasi yang digunakan untuk membagi wilayah berdasarkan curah hujan tahunan dan persebaran musim kering dan basah selama satu tahun. Sistem ini merupakan pengembangan dari klasifikasi iklim Oldeman dan cocok digunakan untuk daerah tropis seperti Indonesia, di mana suhu relatif stabil sepanjang tahun, dan curah hujan menjadi faktor utama dalam membedakan musim.

Fokus utama dari klasifikasi ini adalah jumlah bulan basah dan bulan kering dalam satu tahun. Mohr menetapkan bahwa iklim sangat dipengaruhi oleh panjang dan frekuensi musim hujan dan musim kemarau, yang kemudian menjadi dasar dalam pengelompokan tipe-tipe iklim. Klasifikasi ini banyak digunakan dalam bidang pertanian, kehutanan, dan perencanaan wilayah.

Pengantar: Apa Itu Klasifikasi Iklim Mohr?

Klasifikasi iklim menurut Mohr adalah sistem pengelompokan iklim berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering dalam setahun, dengan fokus pada kondisi curah hujan. Sistem ini dikembangkan oleh Ernst Mohr, seorang ahli geografi asal Jerman yang meneliti iklim di wilayah tropis, terutama di kawasan Indonesia.

Klasifikasi ini sangat berguna dalam studi geografi dan pertanian karena lebih kontekstual terhadap wilayah tropis basah, seperti Indonesia. Mohr membagi iklim berdasarkan jumlah bulan basah, yaitu bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm per bulan. Sementara itu, bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm disebut bulan kering.

Contoh ilustratif: Jika suatu daerah mengalami 9 bulan dengan curah hujan di atas 100 mm dan 3 bulan di bawahnya, maka menurut Mohr, wilayah tersebut memiliki iklim tipe B, yaitu sedang basah. Klasifikasi ini membantu menentukan pola tanam di daerah tersebut.

Konsep Dasar Bulan Basah dan Bulan Kering

Menurut Mohr, klasifikasi iklim didasarkan pada jumlah bulan basah dan bulan kering dalam satu tahun. Mohr mendefinisikan:

  • Bulan basah: bulan dengan curah hujan ≥ 100 mm.
  • Bulan kering: bulan dengan curah hujan < 60 mm.

Ini berbeda dari sistem lainnya, yang mungkin menggunakan ambang curah hujan yang berbeda.

Contoh ilustratif:
Misalnya, sebuah daerah di Kalimantan mengalami curah hujan lebih dari 100 mm selama 8 bulan, dan kurang dari 60 mm hanya selama 2 bulan. Maka daerah tersebut akan tergolong dalam klasifikasi iklim yang sangat basah menurut Mohr, yang akan sangat cocok untuk pertanian sepanjang tahun tanpa irigasi tambahan.

Kriteria Klasifikasi Mohr

Sistem Mohr membagi iklim ke dalam 4 tipe utama, yaitu:

Iklim A (Sangat Basah)

Daerah yang memiliki lebih dari 9 bulan basah dalam setahun. Wilayah dengan iklim tipe A biasanya memiliki curah hujan tinggi yang merata sepanjang tahun. Jenis iklim ini sangat mendukung pertanian sepanjang tahun, terutama tanaman tropis yang membutuhkan air terus-menerus.

Contoh ilustratif: Kota Manokwari di Papua memiliki curah hujan tinggi hampir setiap bulan. Curah hujan bulanan rata-rata lebih dari 150 mm sepanjang tahun. Dengan demikian, Manokwari termasuk dalam klasifikasi iklim A menurut Mohr.

Iklim B (Basah Sedang)

Wilayah yang memiliki 7 hingga 9 bulan basah. Iklim ini masih mendukung pertanian tropis, tetapi umumnya ada musim kemarau pendek. Tanaman padi, kelapa, dan sayuran tropis masih dapat tumbuh dengan baik dalam kondisi ini.

Contoh ilustratif: Kota Bogor di Jawa Barat dikenal dengan curah hujan tinggi, namun masih memiliki beberapa bulan yang lebih kering. Dengan sekitar 8 bulan basah dalam setahun, Bogor termasuk dalam iklim tipe B.

Iklim C (Agak Kering)

Wilayah dengan 4 hingga 6 bulan basah. Dalam iklim ini, musim kemarau relatif panjang sehingga hanya beberapa jenis tanaman tahan kekeringan yang bisa tumbuh optimal. Pertanian perlu disesuaikan dengan ketersediaan air irigasi.

Contoh ilustratif: Wilayah Blora di Jawa Tengah memiliki curah hujan tinggi hanya selama 5 bulan dalam setahun. Selebihnya merupakan musim kering. Menurut Mohr, wilayah ini dikategorikan sebagai iklim C, atau agak kering.

Iklim D (Kering)

Wilayah yang memiliki kurang dari 4 bulan basah. Daerah dengan iklim ini rentan terhadap kekeringan dan memerlukan sistem irigasi atau pemanenan air hujan yang efisien untuk pertanian. Tumbuhan kaktus, jagung, dan jenis palawija lebih cocok ditanam.

Contoh ilustratif: Kupang di Nusa Tenggara Timur memiliki musim hujan yang sangat singkat, dengan curah hujan tinggi hanya terjadi dalam 3 bulan. Sepanjang sisa tahun, tanah cenderung kering. Ini termasuk dalam iklim D menurut Mohr.

Contoh ilustratif:
Daerah pegunungan di Sumatera Barat yang memiliki curah hujan tinggi hampir sepanjang tahun—misalnya 10 bulan basah—akan diklasifikasikan sebagai iklim sangat basah. Hal ini menjelaskan mengapa tanaman seperti padi sawah dan kopi dapat tumbuh subur sepanjang tahun di sana.

Pengaruh Klasifikasi Mohr dalam Bidang Pertanian

Klasifikasi Mohr sangat bermanfaat dalam sektor pertanian karena membantu petani dan pemerintah merencanakan pola tanam berdasarkan ketersediaan air dari hujan. Semakin panjang bulan basah, semakin banyak pilihan tanaman yang bisa dibudidayakan tanpa risiko kekeringan.

Contoh ilustratif:
Di daerah Jawa Tengah dengan iklim agak basah (5–6 bulan basah), petani bisa menanam padi pada musim hujan dan berganti ke tanaman palawija seperti jagung pada musim kemarau. Dengan pemahaman iklim seperti ini, petani bisa meminimalkan kerugian karena gagal panen akibat kekurangan air.

Pemanfaatan dalam Perencanaan Wilayah dan Kehutanan

Selain pertanian, klasifikasi Mohr juga berguna untuk perencanaan pembangunan, konservasi lahan, dan kehutanan. Wilayah yang tergolong sangat kering perlu perlakuan khusus agar tetap bisa dimanfaatkan, atau dilindungi agar tidak mengalami kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Contoh ilustratif:
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), banyak wilayah diklasifikasikan sebagai iklim sangat kering dengan hanya 1–2 bulan basah per tahun. Perencanaan wilayah di daerah seperti ini membutuhkan strategi irigasi, konservasi air, serta pemilihan tanaman tahan kering seperti jambu mete atau lontar, bukan tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah besar.

Perbandingan dengan Sistem Lain

Klasifikasi Mohr lebih sederhana dan lebih fokus pada kondisi hujan dibandingkan sistem lain seperti Koppen atau Schmidt-Ferguson, yang memasukkan variabel suhu atau menghitung rasio antara bulan basah dan kering. Kelebihannya adalah kesesuaiannya untuk wilayah tropis dan aplikasinya yang langsung pada pengambilan keputusan praktis, seperti pengelolaan pertanian dan lingkungan.

Contoh ilustratif:
Dalam menentukan lokasi pembangunan bendungan atau embung, pemerintah dapat menggunakan klasifikasi Mohr untuk memprioritaskan wilayah yang tergolong iklim kering atau sangat kering agar ketersediaan air bisa merata dan mendukung pertanian sepanjang tahun.

Relevansi Klasifikasi Mohr dalam Konteks Indonesia

Sistem Mohr sangat cocok diterapkan di wilayah tropis seperti Indonesia karena berfokus pada intensitas dan durasi hujan, bukan suhu, yang relatif konstan sepanjang tahun. Sistem ini digunakan dalam:

  • Perencanaan pertanian musiman

  • Pengelolaan air dan irigasi

  • Penentuan kalender tanam

  • Kajian ketahanan pangan

Indonesia memiliki keanekaragaman iklim yang tinggi, mulai dari wilayah sangat basah di Papua, hingga daerah sangat kering di Nusa Tenggara. Dengan klasifikasi Mohr, pemerintah dan petani dapat menyesuaikan strategi produksi berdasarkan karakteristik iklim lokal.

Contoh ilustratif: Di Lombok Barat, pertanian padi hanya dilakukan sekali dalam setahun karena curah hujan tinggi hanya terjadi sekitar 4 bulan. Pemerintah setempat mengembangkan sistem penampungan air untuk mendukung tanaman hortikultura di luar musim hujan.


Kelebihan dan Kekurangan Sistem Mohr

Kelebihan:

  • Spesifik untuk iklim tropis

  • Fokus pada bulan basah, relevan bagi pertanian

  • Mudah diterapkan di negara-negara dengan suhu relatif stabil

Kekurangan:

  • Tidak mempertimbangkan faktor suhu atau kelembaban udara

  • Tidak berlaku untuk wilayah subtropis dan sedang

  • Tidak memerinci pola distribusi hujan harian

Namun demikian, kepraktisan dan kesesuaiannya dengan wilayah tropis membuat klasifikasi ini tetap relevan, terutama untuk perencanaan pembangunan dan adaptasi perubahan iklim skala lokal.

Contoh ilustratif: Meskipun Mohr tidak membahas suhu secara langsung, informasi dari klasifikasi ini tetap sangat berguna bagi petani kopi di daerah ketinggian yang ingin mengetahui waktu tanam terbaik berdasarkan jumlah bulan hujan.


Kesimpulan

Klasifikasi iklim menurut Mohr adalah sistem sederhana namun efektif untuk mengelompokkan iklim tropis berdasarkan curah hujan bulanan, khususnya dalam konteks jumlah bulan basah. Sistem ini sangat berguna di Indonesia, negara yang memiliki variasi curah hujan ekstrem dari wilayah basah di Papua hingga daerah kering di NTT.

Dengan memahami tipe iklim menurut Mohr, masyarakat dan pemerintah dapat menyesuaikan strategi pertanian, penggunaan air, dan perencanaan wilayah secara lebih akurat. Meski memiliki keterbatasan, sistem ini tetap relevan sebagai alat bantu dalam menjawab tantangan iklim tropis di era modern.